Puisi-puisi Susan Gui



#Kepada Pelukis Senja
Melawan putaran gravitasi, berkeliling mengitari rotasi bumi. Mencoba terus membawa haluan kepada arah yang tidak sama; berputar melawan arah jam. Berpikir terbalik, naik tidak keatas, turun tidak kebawah.
Apa yang kau ingin katakan pada senja yang biasa? Pada sebuah cerita-cerita yang tidak biasa, pada hari-hari yang berenergi. Sepi menyesap nadi-nadi hidup, hati merona merah; pekat bahkan pedih.
Mengingat-ingat bagaimana putaran itu tidak berputar pada porosnya, ketakutan, kesendirian.

Menangis, terisak sendiri. Merengkuh sepi yang bertali-tali dengan rasa kecewa, mencium perih dalam kesyahduan rasa terbuang, dan mengenggam erat pada sejarah yang diingkari.
Sakit, pada bagian mana entah berdarah sudah. Pena kehilangan tinta untuk menceritakan kesakitan. Raga mengaduh hampa, dimana dan entah kemana.
Kita sama tak miliki pilihan untuk mematikan irama yang memintamu berdendang tentang rindu yang menangis.
O, kekasihku hendak kemana engkau menjauh pada malam yang kau pendam dihatimu? Hatimu ada dalam hatiku, pada malam itu kau menitipkannya disini, dalam hatiku. Dan sepanjang malam malamku kau meneranginya sampai kau tak kuasa melihat gelap pada kelopak mataku, jadi kau hendak menjauh kemana kekasihku, hatimu di sini, kamarilah, jangan engkau padamkan hasratku dan menggantinya menjadi sunyi. Kita tak punya pilihan, mari kesini menari; ditepi rembulan dalam hatiku.
[Susan Gui, Mei 2011]


#untukmu, yang menggambar kelam senja I Padamu, garis-garis halus takdir yang mengikat masa depan tergambar sebuah rencana yang tidak terelakkan. selembar kertas, satu buah pena usang dan setumpuk keyakinan, apalagi yang kau butuhkan untuk menyadari selipan doa-doa orang lain yang percaya pada apa yang kau ukir lewat penamu? II Sembari menatap senja, pena ditangan, kertas dimeja, mengingat-ingat apa kebanggaan selama ini? mencatat, meminum kopi, membaca sembari bekerja. Rupamu macam apa itu, entahlah. III Semua yang ada dalam hati akan menemukan poros yang tepat. jangan lagi memberontak, tapi tidak hanya diam dan tidak melakukan apa-apa. IV Padamu waktu, aku ingin memegangmu erat. berhentilah sejenak, ulang apa yang kusebut "sebuah masa". Berhentilah pada apa yang indah-indah, diamlah pada apa yang wajar-wajar. V Senja yang biasa, tidak menulis tidak apa, tidak menghasilkan apa-apa pun tidak apa. Kau tetap pelukis terbaik yang pernah menggambarku serupa kelam sepi pada senja. Aku sendiri tetap perempuanmu; yang sekali-kali membatu menjadi kelam bagi sepimu.
[Susan Gui, Mei 2011]


#di tepi danau
Sendi-sendi serasa mati rasa dan tidak menemukan kekuatannya. Energi yang menguatkan sudah berlalu sejalan dengan masa dan perjalanan lunglai ditengah tapal batas kesadaran. Pernahkah kau ingat bagaimana cinta pernah sedemikian bergelora? Pernahkan kau ingat kalau rindu pernah sedemikian menggebu; menerabas semua halangan yang tersaji di hadapan.
Danau ini pun pernah mempunyai masa bergelora. Masa dimana dia begitu berarti bagi insan-insan yang jatuh cinta. Bangku-bangku yang kini menjadi lapuk dan kosong menjadi saksi ketika cinta itu sedemikian bergelora. Tidak ada lagi sepasang angsa yang pernah menjadi simbol dari sepasang insan yang sedang mabuk cinta.  Semuanya mati tidak terurus, insan-insan muda yang mabuk cinta memilih untuk melabuhkan hati mereka di dalam gedung-gedung mewah berhawa dingin.
Tidak ada yang salah dengan pilihan-pilihan macam itu. pada tempat apapun hati akan tetap memberikan getaran yang hebat ketika menemukan muara yang tepat.
Hari ini, semua momen mengkristal seiring dengan lagu-lagu sunyi yang berirama sepi; menggema hebat. Ruang hati yang beku ingin luluh, aku ingin berdiri menantang matahari. Aku hanya ingin matahari membakar hati yang sudah mengkristal, agar mencairkan semua kebekuanku.
Aku pernah duduk ditepi danau hanya untuk menatap dua bola matamu yang bersinar cerah terkena lembayung senja. Aku pernah memegang erat tanganmu ketika semua ketakutan menjadi momok mencekam ketika malam tiba. Aku pernah sebegitu mencintaimu dengan kesadaran penuh.
Kini, sisa-sisa kesadaran untuk terus mengharapkan rasa itu seperti terkikis oleh masa, perubahan dan kenyataan yang datang beriringan. Kita tidak menyiapkan diri ketika cinta datang; kita hanya terus menari dalam desah hasrat, dentuman irama magis teriring kecup mesra, sentuhan halus dan kemabukkan yang membutakan membuat kita akan hidup 1000 tahun lagi. Tanpa harus takut menjadi tua dan terkikis waktu.
Namun, kita tidak menyiapkan diri pada padamnya nyala api dari cinta. Kita tidak menjaga bahwa angin bisa saja menghembuskan sebuah daya kekuatan untuk memadamkan apapun yang sedemikian membara. Cahaya hati itu padam dan tuntas ditengah hati yang sedang bergelora liar.
Sore ini aku tersungkur di tepi danau sambil terisak pelan, mengamini semua keindahan yang pernah begitu menggelora. Semua isyarat alam begitu diam, luluh tidak berdaya menatap sebuah hati yang hancur di tepi danau; berserakan. Beginilah hati, beginilah cinta.  Aku ingin memeluk tubuhmu erat tanpa harus takut ditinggal sendiri, di tepi danau, sambil lirih berkata “jangan kemana-mana”.
[Susan Gui, Mei 2011]
Jakarta.

0 komentar:

Laode Rachmat Syahputra. Powered by Blogger.